Sejujurnya cuman pingin corat-coret aja, meluapkan semua yang ada di dalam otak yang serasa penuh. Sembari mengingat episode-episode yang ingin dibuang, membuang bagian yang kemarin masuk kategori “Di buang sayang” bukan hanya dalam recycle tapi benar2 ingin dihapus dari hardisk karna hanya akan menjadi bagian file2 yang tidak berguna, dan rawan terserang virus yang masih dicari antivirus terjitu untuk memusnahkan virus terdahsyat ini... (emang penyakit apa ya... gak nyambung dah)
Apa sih yang spesial dari seorang aktivis dakwah kampus. Hmmm... rasanya biasa2 aja. Makannya sama2 nasi, minum juga air putih, sama2 dalam wujud manusia (wujud lain malah membahayakan). Hmm... jangan tersinggung dulu kawan2 yang merasa aktivis dakwah. Sy hanya menulis sisi lain dari pikiran saya saat jaman jahil dulu, bila salah mohon koreksi. Merasa ada yang aneh, namun nyatanya malah masuk juga dalam proses pembelajaran yang panjang di sebuah universitas yang mengajari banyak hal tentang arti sebuah kesabaran, keikhlasan, ketaatan pada Penguasa Kehidupan.
Terkadang dianggap beda membuat saya semakin tidak suka, hanya masalah penampilan yang bagi orang-orang lebih paham dengan pengetahuan agama, kadang dirasa orang sekitar mengira punya aturan ketat, nggak boleh inilah, nggak boleh itulah. Harus gini lho, harus gitu lho. Emang sih, semua pemahaman itu nggak salah 100%, ada benernya tapi juga ada kurang benernya juga. Nulis apa saya ini, ngalur ngidul nggak jelas.Siapa yang tidak ingin menjadi bagian dari mereka yang istimewa. Aku lebih senang menyebutnya orang-orang luar biasa, karna amanah yang diembannya adalah amanah yang tidak semua orang mampu menjalankannya. Teringat mendapat materi urgensi tarbiyah semasa sekolah, “ di jalan ini, tidak semudah yang dibayangkan, tidak lurus-lurus saja, tidak bertabur bunga, namun berhiasakan kerikil-kerikil tajam, jurang-jurang dalam, tak banyak orang yang bersama kita, hanya segelintir orang yang berjalan bersama,”. Ya, Tidak banyak orang yang menyertainya. Tapi bukan ini yang akan di bahas.
Rasanya tidak begitu senang, ketika di sebuah tempat yang berbeda dengan segala prinsip kita. Selalu dianggap beda. Selalu bergerak tidak leluasa. Belum lagi birokrasi yang membuat peraturan yang bagiku masuk kategori sedikit primitif. Apa salahnya seorang aktivis sekalipun bergaul dengan mereka yang belum begitu tau tentang prinsip kita. Apa salahnya bersikap rame, bersenda gurau dengan teman-teman itu, meskipun dilihat dari segi penampilan mungkin terkesan harus ikut aturan...(mulai lagi alur gak jelas). sejenak menoleh ke belakang, untuk sekedar mengingat bagaimana proses penerimaan rekan-rekan yang berbeda sedikit pemahaman, krn mungkin yang lebih dulu memahaminya, atau malah sebaliknya, bagaimana proses perjuangan agar tidak dianggap beda hanya karna satu kata yang berlebel “ Akhwat” atau “Ikhwan”.
Harus bersikap bagaimana coba dengan mereka yang berkategori hedon? Tetep bersikap saklek, harus gini, harus gitu, nggak boleh ini itu. Meskipun jadwal kuliah yang geje, yang membuat liqo’ kadang-kadang nggak bisa rutin, kadang paling parah 2 bulan baru bisa ikut, tapi yang sering diingat ada sebuah pesan terkirin “Yang pentingkan kita masih mampu menguatkan prinsip diri”, bahasa kerennya Dzatiyahnya tetep jalan untuk tetap berjalan dalam zona yang benar, meski lingkungan tidak begitu mendukung mengaplikasikan prinsip2 itu. Setuju atau tidak, terserah bagaimana pembaca menanggapinya. Namun, sekiranya itulah yang dirasakan hampir 10 tahun perjuangan. Kadang merasa ingin seperti mereka yang lain, berjalan-jalan dengan teman-teman yang kompak2 itu. Ada sih sebenarnya, teman-teman yang solid banget keberadaannya di sisi kehidupan saya, namun lagi-lagi, tak mungkin untuk ikut serta selalu dalam agenda2 kebersamaan mereka, karna sekali lagi fiqih prioritas yang menjawabnya. Agenda tarbawi jauh lebih penting dari sekedar berjalan-jalan ke sebuah tempat, untuk refreshing. Tapi adakalanya ingin sesekali melakukan sebuah kenakalan, meninggalkan satu episode tarbawi dan berkumpul dengan mereka semua. Salah... ya mungkin ini salah, tapi sekali lagi tidak bisa dipungkiri selalu ada sisi lain yang ingin melakukan sesuatu yang baru dari sekedar rutinitas.
Secuil kisah masa lalu, hingga pada akhirnya entah bagaiman cerita dan prosesnya. Begitu nyaman di sebuh lingkungan yang aman. Dengan kata lain sedang dalam zona aman. Semakin bertambahnya amanah, entah kenapa jadi semakin menjauh dengan sebuah kelompok kecil yang berbeda itu. Sepertinya ada yang salah. Mungkin ini yang dinamakan terlalu nyaman sehingga melupakan. Lebih sering berkumpul dan hadir dalam rapat-rapat, agenda dakwah dan kadang atau mungkin jadi sering meninggalkan mereka, bahkan sekedar sms taujih saja jadi jarang. Kehilangan mereka, dan semakin menjauh saja dari kedekatan yang telah dirintis tiga tahun terakhir. Kegilaan bersama semasa masih merasakan indahnya belajar di kelas, atau hang out jalan-jalan nyari suasana baru, atau makan bareng sebagai ajang syukuran karna IP menanjak naik, atau pengukuhan “presiden” buat yang mendapat IP tertinggi dan larangan buat presiden untuk pacaran paling tidak 1 semester, dan pembagian menteri-menteri yang geje2 pula, mulai dari menteri TIK, menteri transportasi, dan lain-lainnya, dan pasti kedapatan jadi menteri agama... lucu memang, tapi amat merindukan. Kukatakan maaf kawan, aku mendzolimi kalian sekarang.
Mungkinkah terlalu nyaman dengan lingkungan yang notabenenya sudah banyak yang paham, bilapun ada kekhilafan mudah untuk mengingatkan. Lebih susah memang untuk menyampaikan dan mengingatkan kepada mereka yang belum begitu paham. Namun, kalau bukan kita yang mengingatkan. Siapa yang akan membenarkan. Fleksibilitas pada porsinya mungkin juga perlu diberikan.
Siapa sangka 2 tahun hidup di asrama, di kamar dengan perbedaan karakter yang sangat mencolok. Hingga merasa tak nyaman untuk sekedar istirahat di kamar. Bahan pembicaraan yang kurang manfaat, tau bahkan tak ada manfaat. Penampilan yang membuka aurat, oh baru kali itu aku melihat. Setidaknya memang sejak kecil di lingkungan yang tidak blak-blakkan terkait aurat. Gak mau nimbrung kalo bahasannya kayak gini.. Not me banget. Hingga akhirnya harus berpikir, bila setiap hari harus ngungsi, harus menjauhi maka tidak akan ada prestasi. Selalu ada hikmah kenapa terjadi sebuah peristiwa. Tiba-tiba ingat masa2 masih di Mts dulu, perpindahan dari kelas biasa ke kelas andalan membuat hati tak punya kawan. Ya memang sih, punya teman, tapi susah amat ya dekat dengan dia yang juara umum. Oke tahap pertama adalah mencari tau apa kesukaannya. Sukses, akhirnya pun tahu doi suka baca buku. Maka tahap selanjutnya adalah sok-sokan baca buku yang menarik dan sok diliatin gitu ke anaknya.(meskipun sebenarnya dulu juga gak suka baca buku sih..hehe). eh doi liat, jebret, doi terpikat, mulai pinjam-pinjaman deh... eh, doi jadi dekat. Sukses besar!!!
Coba menggunakan lagi teknik yang sama... lagi ngomongin cowok ternyata, gabung ah. Sok-sokan dengerin. Meski gak tau apa-apa. Hari pertama suskes. Hari kedua, sesekali nanya hal-hal dasarnya, eh dijawab... sukses juga. Hari selanjutnya... lho..lho curhat. Eh ternyata, dah pada ngerasa nyaman. Siip, guwa pegang nih orang sekamar. Siip, bisa saling mengingatkan.
Ah sayang, di luar dapat selentingan, ni akhwat tapi rame banget, sok kenal pula. Udah gitu suka ngomongin cowok pula. Suka main-main sama temen-temennya yang hedon. keblinger baru tau rasa. Please deh, jangan simpulin sendiri sebelum nanya kebenarannya. Oke deh kalo maunya diubah. Lalu pertanyaannya, siapa yang bakal bersama mereka bila harus diubah. Bisa jadi kita hanya mencari kenyamanan di antara ketidaknyamanan, dan kita melupakan untuk membuat mereka nyaman karna kehadiran kita.
Namanya juga celotehan, nggak jelas arahnya ke mana, paling tidak bisa diluapkan lewat kata-kata. Iseng-iseng aja sih ceritanya. Menguak rindu yang membara pada mereka, tentang 12, Djc, dan yang lain-lainnya. Semoga bisa lebih baik lagi ke depannya...
Malang, 29 Novenber 2010
Apa sih yang spesial dari seorang aktivis dakwah kampus. Hmmm... rasanya biasa2 aja. Makannya sama2 nasi, minum juga air putih, sama2 dalam wujud manusia (wujud lain malah membahayakan). Hmm... jangan tersinggung dulu kawan2 yang merasa aktivis dakwah. Sy hanya menulis sisi lain dari pikiran saya saat jaman jahil dulu, bila salah mohon koreksi. Merasa ada yang aneh, namun nyatanya malah masuk juga dalam proses pembelajaran yang panjang di sebuah universitas yang mengajari banyak hal tentang arti sebuah kesabaran, keikhlasan, ketaatan pada Penguasa Kehidupan.
Terkadang dianggap beda membuat saya semakin tidak suka, hanya masalah penampilan yang bagi orang-orang lebih paham dengan pengetahuan agama, kadang dirasa orang sekitar mengira punya aturan ketat, nggak boleh inilah, nggak boleh itulah. Harus gini lho, harus gitu lho. Emang sih, semua pemahaman itu nggak salah 100%, ada benernya tapi juga ada kurang benernya juga. Nulis apa saya ini, ngalur ngidul nggak jelas.Siapa yang tidak ingin menjadi bagian dari mereka yang istimewa. Aku lebih senang menyebutnya orang-orang luar biasa, karna amanah yang diembannya adalah amanah yang tidak semua orang mampu menjalankannya. Teringat mendapat materi urgensi tarbiyah semasa sekolah, “ di jalan ini, tidak semudah yang dibayangkan, tidak lurus-lurus saja, tidak bertabur bunga, namun berhiasakan kerikil-kerikil tajam, jurang-jurang dalam, tak banyak orang yang bersama kita, hanya segelintir orang yang berjalan bersama,”. Ya, Tidak banyak orang yang menyertainya. Tapi bukan ini yang akan di bahas.
Rasanya tidak begitu senang, ketika di sebuah tempat yang berbeda dengan segala prinsip kita. Selalu dianggap beda. Selalu bergerak tidak leluasa. Belum lagi birokrasi yang membuat peraturan yang bagiku masuk kategori sedikit primitif. Apa salahnya seorang aktivis sekalipun bergaul dengan mereka yang belum begitu tau tentang prinsip kita. Apa salahnya bersikap rame, bersenda gurau dengan teman-teman itu, meskipun dilihat dari segi penampilan mungkin terkesan harus ikut aturan...(mulai lagi alur gak jelas). sejenak menoleh ke belakang, untuk sekedar mengingat bagaimana proses penerimaan rekan-rekan yang berbeda sedikit pemahaman, krn mungkin yang lebih dulu memahaminya, atau malah sebaliknya, bagaimana proses perjuangan agar tidak dianggap beda hanya karna satu kata yang berlebel “ Akhwat” atau “Ikhwan”.
Harus bersikap bagaimana coba dengan mereka yang berkategori hedon? Tetep bersikap saklek, harus gini, harus gitu, nggak boleh ini itu. Meskipun jadwal kuliah yang geje, yang membuat liqo’ kadang-kadang nggak bisa rutin, kadang paling parah 2 bulan baru bisa ikut, tapi yang sering diingat ada sebuah pesan terkirin “Yang pentingkan kita masih mampu menguatkan prinsip diri”, bahasa kerennya Dzatiyahnya tetep jalan untuk tetap berjalan dalam zona yang benar, meski lingkungan tidak begitu mendukung mengaplikasikan prinsip2 itu. Setuju atau tidak, terserah bagaimana pembaca menanggapinya. Namun, sekiranya itulah yang dirasakan hampir 10 tahun perjuangan. Kadang merasa ingin seperti mereka yang lain, berjalan-jalan dengan teman-teman yang kompak2 itu. Ada sih sebenarnya, teman-teman yang solid banget keberadaannya di sisi kehidupan saya, namun lagi-lagi, tak mungkin untuk ikut serta selalu dalam agenda2 kebersamaan mereka, karna sekali lagi fiqih prioritas yang menjawabnya. Agenda tarbawi jauh lebih penting dari sekedar berjalan-jalan ke sebuah tempat, untuk refreshing. Tapi adakalanya ingin sesekali melakukan sebuah kenakalan, meninggalkan satu episode tarbawi dan berkumpul dengan mereka semua. Salah... ya mungkin ini salah, tapi sekali lagi tidak bisa dipungkiri selalu ada sisi lain yang ingin melakukan sesuatu yang baru dari sekedar rutinitas.
Secuil kisah masa lalu, hingga pada akhirnya entah bagaiman cerita dan prosesnya. Begitu nyaman di sebuh lingkungan yang aman. Dengan kata lain sedang dalam zona aman. Semakin bertambahnya amanah, entah kenapa jadi semakin menjauh dengan sebuah kelompok kecil yang berbeda itu. Sepertinya ada yang salah. Mungkin ini yang dinamakan terlalu nyaman sehingga melupakan. Lebih sering berkumpul dan hadir dalam rapat-rapat, agenda dakwah dan kadang atau mungkin jadi sering meninggalkan mereka, bahkan sekedar sms taujih saja jadi jarang. Kehilangan mereka, dan semakin menjauh saja dari kedekatan yang telah dirintis tiga tahun terakhir. Kegilaan bersama semasa masih merasakan indahnya belajar di kelas, atau hang out jalan-jalan nyari suasana baru, atau makan bareng sebagai ajang syukuran karna IP menanjak naik, atau pengukuhan “presiden” buat yang mendapat IP tertinggi dan larangan buat presiden untuk pacaran paling tidak 1 semester, dan pembagian menteri-menteri yang geje2 pula, mulai dari menteri TIK, menteri transportasi, dan lain-lainnya, dan pasti kedapatan jadi menteri agama... lucu memang, tapi amat merindukan. Kukatakan maaf kawan, aku mendzolimi kalian sekarang.
Mungkinkah terlalu nyaman dengan lingkungan yang notabenenya sudah banyak yang paham, bilapun ada kekhilafan mudah untuk mengingatkan. Lebih susah memang untuk menyampaikan dan mengingatkan kepada mereka yang belum begitu paham. Namun, kalau bukan kita yang mengingatkan. Siapa yang akan membenarkan. Fleksibilitas pada porsinya mungkin juga perlu diberikan.
Siapa sangka 2 tahun hidup di asrama, di kamar dengan perbedaan karakter yang sangat mencolok. Hingga merasa tak nyaman untuk sekedar istirahat di kamar. Bahan pembicaraan yang kurang manfaat, tau bahkan tak ada manfaat. Penampilan yang membuka aurat, oh baru kali itu aku melihat. Setidaknya memang sejak kecil di lingkungan yang tidak blak-blakkan terkait aurat. Gak mau nimbrung kalo bahasannya kayak gini.. Not me banget. Hingga akhirnya harus berpikir, bila setiap hari harus ngungsi, harus menjauhi maka tidak akan ada prestasi. Selalu ada hikmah kenapa terjadi sebuah peristiwa. Tiba-tiba ingat masa2 masih di Mts dulu, perpindahan dari kelas biasa ke kelas andalan membuat hati tak punya kawan. Ya memang sih, punya teman, tapi susah amat ya dekat dengan dia yang juara umum. Oke tahap pertama adalah mencari tau apa kesukaannya. Sukses, akhirnya pun tahu doi suka baca buku. Maka tahap selanjutnya adalah sok-sokan baca buku yang menarik dan sok diliatin gitu ke anaknya.(meskipun sebenarnya dulu juga gak suka baca buku sih..hehe). eh doi liat, jebret, doi terpikat, mulai pinjam-pinjaman deh... eh, doi jadi dekat. Sukses besar!!!
Coba menggunakan lagi teknik yang sama... lagi ngomongin cowok ternyata, gabung ah. Sok-sokan dengerin. Meski gak tau apa-apa. Hari pertama suskes. Hari kedua, sesekali nanya hal-hal dasarnya, eh dijawab... sukses juga. Hari selanjutnya... lho..lho curhat. Eh ternyata, dah pada ngerasa nyaman. Siip, guwa pegang nih orang sekamar. Siip, bisa saling mengingatkan.
Ah sayang, di luar dapat selentingan, ni akhwat tapi rame banget, sok kenal pula. Udah gitu suka ngomongin cowok pula. Suka main-main sama temen-temennya yang hedon. keblinger baru tau rasa. Please deh, jangan simpulin sendiri sebelum nanya kebenarannya. Oke deh kalo maunya diubah. Lalu pertanyaannya, siapa yang bakal bersama mereka bila harus diubah. Bisa jadi kita hanya mencari kenyamanan di antara ketidaknyamanan, dan kita melupakan untuk membuat mereka nyaman karna kehadiran kita.
Namanya juga celotehan, nggak jelas arahnya ke mana, paling tidak bisa diluapkan lewat kata-kata. Iseng-iseng aja sih ceritanya. Menguak rindu yang membara pada mereka, tentang 12, Djc, dan yang lain-lainnya. Semoga bisa lebih baik lagi ke depannya...
Malang, 29 Novenber 2010
0 komentar:
Posting Komentar