Kesibukan beberapa hari ini, menuntut diri ini harus bolak-balik malang-blitar. Capek, wajar... lawong hampir tiap hari mesti PP. Tapi nggak mau ngeluh, kata si mbah saya “Nduk... ndak boleh ngeluh, mau sakit atau nggak suka sekalipun, jangan sampai ngeluh”, juga kata bapak saya “Nak, jangan pernah mengeluh bagaimanapun kondisinya”. Dan yang nggak ketinggalan kata ibunda “Dik, apapun yang dirasakan, jangan pernah mengucapkan kata-kata negatif, mesti berpikir positif”. Begitulah pokoknya... Pokoknya diniatkan untuk Allah, dan dibuat senang aja.
Saking capeknya (mungkin), rasanya mata ini udah nggak tahan lagi. Pingin banget merem. Dan memang akhirnya merem beneran (habisnya udah nggak tahan sih). Sejam perjalanan, akhirnya kurang setengah perjalanan lagi. Sekitar daerah Karangkates, orang yang ada di sampingku sejak dari terminal Arjosari, kalo nggak salah mbak-mbak berbaju ungu dengan jilbab putih turun dari bus yang kutumpangi. Dan kemudian... breeek... Kaget.
Seorang laki-laki yang seumuran denganku, dengan pakaian agak lusuh, celananya disobek-sobek, ada sedikit bekas luka di wajahnya. Ditambah pakek anting di telinga sebelah kiri (klo sebelah kanannya makek kagak tau saya, soale duduknya disebelah kirinya...hehe). Pokoknya tampak nyeremin dikit dan nggak rapi gt deh. (kebayang nggak gimana perawakannya friendfillah??)
Dalam hati sih awalnya cuek-cuek aja, nyantai kayak dipantai... tapi makin aneh aja ni orang disamping, umek dewe... yang baca sms pakek kyk orang ngumpetin apaan, liat kiri kanan nggak jelas... nah yang paling ngebuat saya jadi nggak tenang adalah lirikannnya yang bentar-bentar mandangi tas saya... Oh tidak, dalam hati cuma doa aja, semoga nggak bakal kenapa-kenapa.
Akhirnya ngebenerin dikit nih duduknya, tadi sih agak nyantai-nyatai gitu, terus ganti jadi lebih tegak dengan tampang diseriusin dikit. Dalam hati, kesempatan nih buat nanya-nanya, kapan lagi, mumpung ada di samping nih. Tapi tetep aja, was-wasnya nggak mau ngumpet barang sebentar. Akhirnya dengan mengucap “Bismillahirrahmanirrahim”, memberanikan diri buat negur, itung-itung ngurangi rasa takut, dan berharap orangnya baik hati.
“Masnya mau turun mana?” tanyaku.
“Owh... turun blitar mbak, mbaknya turun mana?”
Diam sejenak, dalam hati ngomong “Plisss, jangan turun terminal ya”.... “hmm, bentar lagi juga mau turun mas”... padahal juga masih satu jam lagi nyampeknya. “Masnya blitar mana? Asli blitar ta?”
“terminal mbak, mau ke rumahnya teman, ndak mbak aku asli malang” sambil mengarahkan senyumnya malu-malu padaku. Dalam hatiku berkata,”nah lho... kok diterminal sih mas, terus aku turun mana?”. Ya diharap maklum sj ya para pembaca, emang bener2 ada perasaan takut, jadi wajar klo mikirnya semacam aneh-aneh.
Kupikir saatnya menjalankan jurus SKSD hehe, jurus tanpa tanding(...halah).“ Malang mana mas?”
“ bululawang mbak, tau a? Bla...bla...bla... begitulah awal ceritanya yang akhirnya kitapun ngobrol cukup panjang, setidaknya mengurangi rasa takutku dan lumayan, akhirnya keinginanku untuk lebih tahu kehidupan jalanan terobati sudah. Sudah sejak lama, ingin sekali berbincang dengan mereka, mencari tahu seperti apa kehidupan mereka, tapi selalu ada perasaan was-was, pan saya akhwat, jadi takut-takut gimana gt... hehe.
Terbesit dalam hati untuk mencoba bertanya padanya kenapa sampai memutuskan menjadi anak jalanan, sesuai dugaan, karena masalah keluarganya yang membuatnya sedemikian rupa. Diapun sadar, bahwa apa yang dia lakukan adalah sebuah kesia-siaan. “Gimana ya mbak, sy itu SMP aja ngga nutuk, gara-gara ada masalah keluarga, sy itu iri sama saudara-saudara sy yang lain, mereka sekolah sampek nutuk, kelas 3 SMP sy keluar mbak, sayang sekali kan ya.” Sambil malu-malu dia bercerita padaku. Mirisnya, Ya Allah L. Mendengar cerita dari seseorang yang mengenalkan dirinya bernama Lucky itu, rasanya mengingatkan diri ini, betapa kita harus bersyukur karena kita terlahir dari keluarga yang memperhatikan kita, yang menyayangi kita, yang tidak membiarkan kita sebatangkara.
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS 55:55).
Sang anak jalanan inipun bercerita tentang kehidupannya, kalau ada kerjaan biasanya jadi kuli bangunan, tapi kalau lagi sepi ngamen bareng temen2nya dari bis satu ke bis yang lain. Atau ngamen dari rumah ke rumah. Tidur juga sembarangan tempat, kadang pulang kadang juga dijalanan. Kadang dicariin orang rumah, tapi lebih banyak nggak dicarinya. “Keras mbak hidup dijalanan, untung aja nggak pernah kena kamtib... jangan sampeklah pokoknya”.
Sejenak terdiam... kalau kehidupannya kayak gt, terus gimana sholatnya? Gimana puasanya ya... hmmm, dengan mencoba bertanya kembali, cukup ragu untuk menanyakan ini, karena takut menyinggung hati. Tapi Alhamdulillah, masnya cukup baik menjawab pertanyaan saya “ Kalau sholat...hehe, jarang-jarang mbak, kadang-kadang gitu...hehe, klo puasa hihihi... aku jadi malu mbak, cuma di awal aja mbak...hehe”
“hehe... Cuma sekali gt mas ceritanya?” tanyaku. “hehe, ndak mbak... aku puasanya di awal, tengah-tengah sama akhirnya... timbang nggak puasa blas”... hanya senyum simpul mencoba meramahkan diri yang kuberikan. “kalo sholat ied ikutan ya mas? Hehe?” guyonan ringanpun membersamai dalam obrolan ringan kami. “aku juga pingin mbak buat hidup normal gitu, ndak kayak gini, mbak enak ya... mbak beruntung lho.” Hmm... dari hati nuraninya, ada sisi yang ingin diperbaiki dan ada sisi ingin memperbaiki diri.
“Ayo dicoba diperbaiki aja mulai sekarang mas, masnya kan masih muda, kalau kata orang masa muda itu mesti produktif, gimana?” kataku
“Betul mbak, bener itu... tapi gimana e, belum dapat hidayah mbak,” seperti sebelum-sebelumnya, tapi kali ini sambil malu-malu dan menutup wajahnya... hyaaa.... hidayahnya ditunggu, kalo ndak ada usaha buat nyari ya ndak datang-datang tu hidayahnya...
Seperti sebelumnya, sambil berbincang kuputuskan untuk tidak turun di Terminal Patria kota Blitar. Lebih kupilih turun di SMAN 1 Blitar, sekalian mo mengenang masa2 berjuang disana (boong banget tuh...hehe). Ya mo gimana lagi, masih ada rasa takut, meskipun sudah berbincang cukup lama. “ Mas... saya mau turun dulu ya terima kasih ya sudah bercerita panjang lebar, saya jadi tau banyak, semoga hidayahnya segera datang ya...hehe.” Ujarku
“Iya mbak, sama2... terima kasih juga... kapan-kapan maen ke bululawang mbak, tenang aja klo ada apa-apa panggil aku aja mbak, tempat nongkrongku ya yang tadi kuceritakan mbak” balasnya... kubalas kalimat itu dengan senyum simpul dan anggukan ramah (hehe.. sok ramah euy), sembari berjalan menuju pintu untuk turun dari bus yang kutumpangi di tempat yang udah direncanakan.
Banyak hikmah yang kudapatkan dari 60 menit perbincangan singkat itu. Betapa indahnya keluarga kita, yang penuh rasa kasih sayang, yang saling memberikan perhatian. Di sanalah dimulainya pendidikan. Betapa banyaknya nikmat yang Allah berikan kepada kita sehingga kita tak perlu susah payah untuk menikmati indahnya sekolah, atau majelis2 ilmu yang lainnya. Betapa banyak anugerah yang Allah berikan kepada kita sehingga kita diijinkan mengenal Islam, mempelajarinya, mengamalkannya dan tetap berusaha mengajarkannya. Kita tak perlu bingung dengan kesusahan-kesusahan seperti yang mereka rasakan. Ya Allah betapa sedikit syukur kami kepadaMu. Jangan biarkan hati-hati kami, diri kami mengendalikan diri kami sendiri barang sedetikpun tanpa petunjuk dariMu.
Dan mereka, betapa seringya jiwa hanya terkungkung dengan urusan dakwah kampus yang sibuk dengan keegoan masing-masing, ribut dengan mengurusi masalah-masalah hati yang tak kunjung usai. Kekecewaan yang membuat banyak memilih menjadi bagian barisan sakit hati. Sedang diluar sana sudah banyak yang menanti, barangkali mereka menanti kontribusi nyata kita, untuk mengingatkan, untuk mengajak mereka dalam sebuah keindahan Islam. Dan barangkali akupun lupa, untuk mendoakan mereka, karena mereka juga saudara hamba.. Ya Robb, ampuni jiwa-jiwa ini bila benar adanya banyak lalai kami pada dakwah ini, pada saudara-saudara kami.
Semoga kita mampu mengambil hikmah dari berbagai macam peristiwa dan masalah kehidupan...
9 Ramadhan 1432 H
PEJUANG SYAHIDAH