Kamis, 28 April 2011

~ ALHAMDULILAH , SAYA BUKAN AKHWAT IDOLA IKHWAN ~

by ~::** UKHTI SEJATI ** ::~

Assalamu'alaikum

Cerita tentang seorang akhwat di negeri antah berantah yang tetap mentah (udah ga matang, ga ketahuan lagi..) tentang sosok akhwat idaman…

Eittss….ilustrasi dikit ya…

Ukhti M, sosok akhwat manis, aktivitasnya juga ga pernah habis, suka puasa senin kamis, apalagi kalo kantong lagi tipis, di wajhah manapun selalu ditempatkan pada amanah yang strategis! Dan karena itulah banyak menarik simpati ikhwan mulai yang punya jenggot tipis sampe yang dagunya mulus klimis alias kagak tumbuh jenggot sama sekali. Yeah…ukhti M memang akhwat idola mulai dari kampus sampai diluar kampus, tapi Alhamdulillah ukhti satu ini masih bisa jaga hijab dengan sangat baik, meski kadang berkelebat dalam hati sebuah kebanggaan bahwa ia bisa menjadi idola para ikhwan dan semua orang.

Lain ukhti M, lain pula ukhti X. Dia sosok biasa, legowo nerima amanah dimana saja yang penting mampu dikerjakannya. Urusan cantik jangan ditanya, karna konon kata si ukhti, semua wanita terlahir cantik, kalo ganteng itu slogannya ikhwan, kalo canteng (cantik ganteng) itu baru dipertanyakan kenapa makhluk kaya gitu ada di dunia?? Meski begitu, akhwat satu ini sangat bersahaja, itu diakui hampir semua akhwat yang mengenalnya, meski dikalangan ikhwan mereka ga bakal tahu ukhti X itu yang mana orangnya.

Udah loading belum sama ilustrasi diatas???
Belum??
Ya sudah…baca lagi nih sampe ending nemo (eh salah ya, itu Finding Nemo, judul film!!!)

Bagi ukhti X, menjadi idola atau tidak dikalangan aktivis dakwah atau non aktivis bukanlah sebuah obesesi yang harus dikejar, karena tujuan kita bersyiar adalah hanya untuk meraih ridho Allah. Meski kadang terbersit dalam hatinya sebuah iri kepada ukhti M atau akhwat lainnya yang sering menjadi perbincangan kalangan ikhwan dan bahkan menjadi calon istri idaman bagi mereka. Semua orang termasuk ikhwan sangat senang bergaul dengan mereka, dan tak pernah bosan, berbeda dengan dirinya yang jika berbicara dengan ikhwan cukup seperlunya, mungkin itu yang membuat ikhwan tidak pernah merasa nyaman berinteraksi atau sekedar share ilmu dengannya. Namun, mari kita belajar pada kata-kata yang selalu diingat oleh ukhti X…

Saya mungkin memang bukan akhwat yang menyenangkan bagi semua orang…
Saya mungkin memang kurang disukai para ikhwan…
Saya mungkin memang tidak pantas menjadi akhwat idaman…
Tapi menjadi seorang akhwat idola bukanlah sebuah kebanggaan…

Justru saya harusnya bersyukur…
Artinya Allah menjagakan hijab yang sedang saya jaga…
Mungkin saja mereka yang menjadi idola dan sering mendapat “apresiasi” dari fans-nya, apalagi dari ikhwan akan sibuk sekali menata hatinya agar tidak terjebak dalam celah hati yang dibuka oleh syaitan…
Sedangkan saya, saya akan lebih sibuk dengan amal-amal saya, tenaga saya tidak akan terkuras hanya untuk menangani urusan hati…
Subhanallah, ini adalah nikmat Allah yang luar biasa…

Maka benar apa Allah katakan dalam ayat alqur’an, “boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu buruk bagimu, dan boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu amat baik bagimu. Engkau tidak tahu tapi Allah lebih tahu” (QS. Al Baqarah 216)

Alangkah lebih baik jika saya sibuk agar menjadi wanita yang dicintai Allah…
Dicintai pula oleh malaikat dan penghuni langit…
Sehingga saya selalu menjadi bahan pembicaraan mereka…
Dan terlebih akan mampu menjadi jiwa yang dirindukan oleh syurga…
So…bukan akhwat idola ikhwan, Emang Gue Pikirin???

Jika Hidup ini Tidak Untuk Dakwah???

Jika hidup ini tidak untuk dakwah
Apa yang engkau inginkan?
Pergi pagi dengan semangat mencari duniawi
Seharian berkubang tugas-tugas kuliah
Lalu pulang malam
Dengan jasad yang kelelahan
Sampai dirumah mendekam hingga pagi datang

Sahabat,,mari kita renungkan
Apa yang ingin kita gapai sampai harus membanting tulang?
Apa yang ingin kita bangun hingga pagi datang?
Apa yang ingin kita raih hingga tubuh begitu letih?
Sahabat…..
Jika kita hidup untuk dakwah
Tidak ada setitik harapanpun yang kelak dirugikan
Tidak seberkas amal pun yang tiada mendapat balasan
Ujian, cobaan, cercaan pasti menghadang
Tapi yakinlah janji Allah tak akan pernah ingkar
Namun yakinlah bahwa inilah jalan kebaikan

Sahabat…
Janganlah terlena dengan kesenangan fana
Janganlah terlena dengan gemerlapnya dunia
Itulah yang Allah berikan sebagai hak para musyrikin di dunia
Tiada usah kita iri dan berpikir tuk hanyut di dalamnya
Dan mereka kekal di dalamnya

Sahabat….
Jangan sia-siakan hidup di dunia
Bangunlah rumah dakwah
Jika kau diluaskan harta, kembalikan di jalan dakwah
Jika kau diluaskan waktu, hibahkan di jalan dakwah
Jika kau diluaskan tenaga, berikan untuk lapangnya jalan dakwah
Jika kau diluaskan pikiran, gunakan untuk merenungi ayat-ayatNYA
Jika kau diluaskan usia, maksimalkan tuk berikan yang terbaik untukNYA

Sahabat…
Janganlah kau jadikan dakwah sebagai kegiatan sampingan, sekedar tuk
mengisi waktu luang.
Jangan jadikan dakwah sebagai hiburan
Jangan jadikan dakwah sebagai ajang gaul sesama teman
Jangan jadikan dakwah sebagai sarana tuk meraih dunia
Karena kelak yang kau dapatkan adalah jahanam
Sebagai balasan atas kemusyrikan yang kau jalankan

Sahabat…..
Jadikan dakwah sebagai ruh kita di dunia
Jadikan dakwah sebagai rumah tinggal kita di dunia
Jadikan dakwah sebagai tugas utama kita di dunia
Jadikan bahwa hanya dengan dakwah diri kita begitu bahagia
Jadikan bahwa tanpa dakwah kita begitu menderita

Sahabat…
Jalan dakwah inilah yang membedakan kita dengan para pendusta ayat-ayatNya
Dan jika engkau hidup di dunia ini tidak untuk tegakkan risalahNYA
Apa bedanya dengan mereka yang lebih memilih neraka daripada surga?
Dan jika engkau hidup di dunia ini sebagai tujuan
Ingatlah bahwa dunia ini hanya sementara, bukan kekal abadi selamanya

Jika hidup tidak untuk dakwah
Apa yang engkau inginkan?
Maukah engkau  menjadi ayam?
Yang pergi pagi pulang petang
Hanya tuk mencari kefanaan
Tapi mungkin ayam lebih baik dari kita
Karena ia rutin bangun sebelum adzan
Tuk teriakkan lagu keindahan
Dan tebarkan manfaat untuk semua makhluk semesta alam

Sementara kita?
Manfaat apa yang telah kita beri untuk orang lain?
Apa yang telah kita persembahkan untuk umat ini?

Sahabat…
Jadilah engkau pejuang2 Allah yang sesungguhnya
Dan bukan pejuang dalam untaian kata tanpa makna
Berbuatlah!agar kelak kau mampu menjawab
Ketika Allah menanyakan manfaatmu di dunia
Buktikan bahwa kau seorang muslim yang tangguh
Dan bukan seorang pecundang!
Teruslah berjuang sahabat!!
Hingga kemenangan islam tak lagi impian….
Hingga tak ada lagi nafas yang terhembus…

Sesungguhnya dakwah ini tak kan pernah mati tanpamu,
Tapi kaulah yang akan `mati’ tanpanya
Sesungguhnya dakwah ini pasti akan menang, 
Dan engkaulah yang akan memilihnya
engkau akan ikut bersamanya atau hanya puas sebagai penonton saja


Tarbiyah memang bukan segala-galanya, tapi
segala-galanya dimulai dari tarbiyah


diambil dari http://hambadhoif.blog.friendster.com/, dengan gubahan

Rabu, 20 April 2011

DJC's Aku Rindu

2007 lalu, aku mulai langkahkan kaki di sana. di sebuah kampus yang tak pernah aku duga-duga. Di sebuah kampus yang mempertemukan kita yang bermula bersebelas hingga semakin banyak lagi.
Hanya berawal dari sebuah keisengan, berawal dari titip bangku buat ngampus, hang out bareng, dan kawan-kawannya.
Sungguh sekarang aku rindu kalian. Ketika kubuka album kebersamaan kita dulu, rasanya hatiku terkoyak, ingin bertemu, ingin memeluk kalian...
Ya Rabbi, ijinkan kami berkawan, bersahabat, di dunia hingga ke surga

Film “?”: Apa Maunya?

Soal akidah, di antara Tauhid Mengesakan Allah, sekali-kali tidaklah dapat dikompromikan atau dicampur-adukkan dengan syirik. Tauhid kalau telah didamaikan dengan syirik, artinya ialah kemenangan syirik.” 
(Prof. Hamka, dalam Tafsir al-Azhar)
PERLU digarisbawahi, saat menonton film “?” (Tanda Tanya) pada tayangan perdana, 6 April 2011 lalu, saya adalah seorang Muslim. Saat memberikan komentar dan memberikan catatan kritis ini, saya juga tetap Muslim, dan saya menggunakan perspektif Islam dalam menganalisis film “?”. Sebagai Muslim, saya telah berikrar: "Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah." 
Dengan syahadat Islam itu, saya bersaksi, saya mengakui, bahwa Tuhan saya adalah Allah. Tuhan saya bukan Yahweh, bukan Yesus, bukan Syiwa. Tuhan saya Satu. Tuhan saya tidak beranak dan tidak diperanakkan. Saya mengenal nama dan sifat Allah bukan dari budaya, bukan dari hasil konsensus, tapi dari al-Quran yang saya yakini sebagai wahyu dari Allah kepada Nabi Muhammad saw. Karena itu, sejak dulu, dan sampai kiamat, saya dan semua orang Muslim memanggil Tuhan dengan nama yang sama, Allah, yang jelas-jelas berasal dari wahyu.
Sebagai Muslim, saya yakin, bahwa Nabi Muhammad saw diutus oleh Allah sebagai nabi terakhir. Sebagaimana para nabi sebelumnya – seperti Nabi Musa dan Nabi Isa a.s. – inti ajaran Nabi Muhammad saw adalah Tauhid, yaitu mensatukan Allah. Nabi Muhammad saw diutus untuk seluruh manusia (QS 34:28), bukan hanya untuk bangsa atau kurun tertentu.
Itu artinya, kebenaran Islam, bukan hanya berlaku untuk orang Islam, tetapi berlaku untuk semua manusia.  Syariat Nabi Muhammad saw saat ini adalah satu-satunya syariat yang sah untuk seluruh manusia. Cara beribadah kepada Allah – satu-satunya – yang sah hanyalah dengan syariat Nabi Muhammad saw. Jalan yang sah menuju Tuhan hanyalah jalan yang dibawa Nabi Muhammad saw.
Akal saya tidak bisa menerima satu logika, yang menyatakan, bahwa Allah telah menurunkan Nabi-Nya yang terakhir, dan kemudian Allah SWT membebaskan manusia untuk memanggil nama-Nya dengan nama apa pun, sesuai dengan selera manusia. Juga, tidak masuk di akal saya, pendapat yang menyatakan, bahwa Allah SWT membebaskan manusia untuk menyembah-Nya dengan cara apa pun, sesuai dengan kreativitas akal dan hasrat nafsu manusia.
Saya yakin, sesuai QS 3:19 dan 3:85, bahwa Allah hanya menurunkan satu agama untuk seluruh Nabi-Nya, yakni agama yang mengajarkan Tauhid (QS 16:36). Jika satu agama tidak mengajarkan Tauhid, pasti bukan agama yang diturunkan Allah untuk para Nabinya; dan pasti merupakan agama budaya (cultural religion).
Itu keyakinan saya sebagai Muslim. Dan itu konsekuensi logis dari syahadat yang saya ikrarkan!
***
Alkisah, Rika, seorang istri yang kecewa terhadap suami. Rika memutuskan pindah agama, dari Islam menjadi Katolik. Ia berujar, bahwa kepindahan agamanya bukan berarti mengkhianati Tuhan. Meskipun Katolik, Rika sangat toleran. Anaknya , – masih kecil, bernama Abi –dibiarkannya tetap Muslim. Bahkan, ia mengantarjemput anaknya ke masjid, belajar mengaji al-Quran. Di bulan puasa, dia temani dan dia ajar Abi berdoa makan sahur.
Di Film “?” (Tanda Tanya), Rika ditampilkan sebagai sosok ideal: murtad dari Islam, tapi toleran dan suka kerukunan. Pada segmen lain, secara verbatim Rika mengatakan,  BAHWA agama-agama ibarat jalan setapak yang berbeda-beda tetapi menuju tujuan yang sama, yaitu Tuhan.  Kata Rika mengutip ungkapan sebuah buku,  “… semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju ke  arah yang sama; mencari satu hal yang sama dengan satu tujuan yang sama, yaitu Tuhan.”
Mulanya, kemurtadan Rika tidak direstui ibunya. Anaknya yang Muslim pun  awalnya menggugat. Tapi, di ujung film, Rika sudah diterima sebagai “orang murtad” dari Islam. Bahkan, ada juga yang memujinya telah mengambil langkah besar dalam hidupnya.
Kisah dan sosok Rika cukup mendominasi alur cerita dalam film “?” garapan Hanung Bramantyo ini.  Rika tidak dipersoalkan kemurtadannya.  Padahal, dalam pandangan Islam, murtad adalah kesalahan besar.  Saat duduk di bangku SMP, saya sudah menamatkan satu Kitab berjudul Sullamut Tawfiq karya Syaikh Abdullah bin Husain bin Thahir bin Muhammad bin Hasyim. Kitab ini termasuk yang mendapatkan perhatian serius dari Imam Nawawi al-Bantani, sehingga beliau memberikan syarah atas kitab yang biasanya dipasangkan dengan Kitab Safinatun Najah. 
Dalam kitab inilah, sebenarnya umat Islam diingatkan agar menjaga Islamnya dari hal-hal yang membatalkannya, yakni murtad (riddah). Dijelaskan juga dalam kitab ini, bahwa ada tiga jenis riddah,  yaitu murtad dengan I’tiqad, murtad dengan lisan, dan murtad dengan perbuatan. Contoh murtad dari segi I’tiqad, misalnya, ragu-ragu terhadap wujud Allah, atau ragu terhadap kenabian Muhammad saw, atau ragu terhadap al-Quran, atau ragu terhadap Hari Akhir, sorga, neraka, pahala, siksa, dan sejenisnya.
Masalah kemurtadan ini senantiasa mendapatkan perhatian serius dari setiap Muslim, sebab ini sudah menyangkut aspek yang sangat mendasar dalam pandangan Islam, yaitu masalah iman. Dalam pandangan Islam, murtad (batalnya keimanan) seseorang, bukanlah hal yang kecil. Jika iman batal, maka hilanglah pondasi keislamannya. Banyak ayat al-Quran yang menyebutkan bahaya dan resiko pemurtadan bagi seorang Muslim.
”Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS 2:217).
“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu Dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS 24:39).
Jadi, riddah/kemurtadan adalah masalah besar dalam pandangan Islam. Entahlah dimata kaum Pluralis! Tindakan murtad bukan untuk dipertontonkan dan dibangga-banggakan! Dalam perspektif Islam, patutkah seorang bangga dengan kekafirannya?
***
Masih menyorot sosok Rika dalam film “?”. Rika pindah agama, dari Islam menjadi Katolik. Dalam konsepsi Islam, Rika bisa dikatakan telah melakukan dosa syirik, karena mengakui Yesus sebagai Tuhan atau salah satu Oknum dalam Trinitas. Padahal, dalam al-Quran Nabi Isa a.s. jelas-jelas menegaskan dirinya sebagai  Rasul Allah. Nabi Isa adalah manusia, dan bukan Tuhan, atau anak Tuhan.  Ini pandangan Islam. Tentu, ini bukan pandangan Kristen.
Dalam perspektif Islam, menurunkan derajat al-Khaliq ke derajat makhluk adalah tindakan tidak beradab. Begitu juga sebaliknya, menaikkan derajat makhluk ke derajat al-Khaliq juga tidak beradab. Itu musyrik namanya. Seorang presiden saja tidak mau disamakan dengan rakyat biasa. Jika lewat, dia minta diistimewakan. Kita diminta minggir. Binatang juga dibeda-bedakan tempat atau  kandangnya. Adab -- dalam konsepsi Islam -- mewajibkan seorang Muslim meletakkan segala sesuatu sesuai dengan harkat dan martabat yang sebenarnya, sesuai ketentuan Allah. Nabi Isa a.s. adalah utusan Allah. Tugasnya menyampaikan kepada Bani Israel, siapa Tuhan yang sebenarnya, dan bagaimana cara menyembah-Nya. Nabi Isa a.s. melanjutkan syariat Nabi Musa a.s.
Menuduh Allah mempunyai anak – menurut al-Quran – adalah sebuah kesalahan yang sangat serius. “Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu dan bumi terbelah dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menuduh Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak.” (QS 19: 88-91).
Islam memandang keimanan sebagai hal terpenting dan mendasar dalam kehidupan. Iman akan dibawa mati. Iman lebih dari soal suku, bangsa, bahkan hubungan darah. Iman bukan “baju”, yang bisa ditukar dan dilepas kapan saja si empunya suka.  Iman juga tidak patut diperjualbelikan: ditukar dengan godaan-godaan duniawi. Ada perbedaan prinsip antara mukmin dan kafir.  “Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya.” (QS 98:6).
Demi mempertahankan iman, Nabi Ibrahim a.s. rela berpisah dengan ayah dan kaumnya. Melihat tradisi penyembahan berhala pada keluarga dan kaumnya, Ibrahim a.s. tidak berpikir sebagai seorang Pluralis yang menyatakan, bahwa semua agama  menyembah Tuhan yang sama, dan punya tujuan yang sama. Tapi, Nabi Ibrahim berdiri kokoh pada prinsip Tauhid, mengajak kaumnya untuk meningalkan tradisi syirik.
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, Azar, pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala ini sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaum engkau dalam kesesatan yang nyata.” (QS 6:74).
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikan negeri ini (Makkah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku dan anak cucuku dari menyembah berhala-berhala. Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan dari manusia, maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS 14:35-36)
“Ibrahim bukanlah Yahudi atau Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang hanif dan Muslim, dan dia bukanlah orang musyrik.” (QS 3:67).
Dan kini, dalam setiap shalat, kaum Muslim membacakan doa untuk Nabi Muhammad saw dan sekaligus dirangkaikan dengan doa untuk Nabi Ibrahim a.s. Itu tentu karena kegigihan Nabi Ibrahim dalam menegakkan ajaran Tauhid dan bukan karena Nabi Ibrahim seorang musyrik!
Maka, sebagai Muslim, saya tentu boleh merasa heran, dan penuh Tanda Tanya, mengapa dalam film “?” -- yang diproduksi dan digarap seorang yang beragama Islam --  soal ganti agama, soal keluar dari Islam,  soal pergantian mukmin menjadi kafir, dianggap perkara kecil dan remeh?
***
Syahdan, para pemikir ateis, seperti Karl Marx, Friedrich Nietzsche, Sigmund Freud, Jean Paul Sartre dan sejenisnya, terkenal dengan gagasan-gagasan yang memandang agama dan Tuhan sudah tidak diperlukan lagi di era zaman modern ini.  Mereka beramai-ramai mempermainkan Tuhan. Jean-Paul Sartre (1905-1980) menyatakan: “even if God existed, it will still necessary to reject him, since the idea of God negates our freedom.” (Karem Armstrong, History of God, 1993). Thomas J. Altizer,   dalam “The Gospel of Christian Atheism” (1966) menyatakan: “Only by accepting and even willing the death of God in our experience can we be liberated from slavery…” (Karen Armstrong, History of God)
Friedrich Nietzsche, dalam karyanya, Also Sprach Zarathustra, mengungkap gagasan bahwa “Tuhan sudah mati”. Karena Tuhan sudah mati, dan tidak diperlukan lagi, Nietzsche berpendapat, “Kepercayaan adalah musuh yang lebih berbahaya bagi kebenaran, dibanding kebohongam.”  Nietzsche ingin bebas dari segala aturan moral, ingin bebas dari Tuhan. Ujungnya, pada 25 Agustus 1900, ia mati setelah menderita kelainan jiwa dan penyakit kelamin. (Lihat, B.E. Matindas, Meruntuhkan Benteng Ateisme Modern, 2010).
Jika direnungkan secara serius,  Pluralisme Agama sejatinya bisa begitu dekat dengan ateisme. Ketika orang menyatakan, “semua agama benar”, sejatinya bersemayam juga satu ide  dalam dirinya, bahwa “semua agama salah”.  Sebab, “Tuhan” (God), yang dipersepsikan kaum Pluralis adalah Tuhan yang abstrak. Tuhan kaum Pluralis adalah Tuhan dalam angan-angan, yang boleh diberi nama siapa saja, diberi sifat apa saja, dan cara menyembahnya pun  boleh suka-suka. Kapan suka disembah, kapan-kapan tidak suka, bisa diganti dengan Tuhan lain. Cara menyembah Tuhan, menurut mereka, juga sesuka selera manusia. Bosan dengan cara satu, bisa diganti dengan cara lain. Sebab, dalam konsep mereka, tidak ada satu cara yang pasti benar dalam ibadah, sesuai petunjuk seorang Nabi.
Tuhan dalam Islam mengharamkan babi. Pada saat yang sama, Tuhan dalam agama Kristen menghalalkan babi.    
Tuhan,  dalam agama Bhairawa Tantra,  memerintahkan agar menyembelih wanita dan darahnya kemudian diminum bersama-sama. Tuhan dalam agama Children of God menganjurkan seks bebas, sebagai wujud rasa kasih sayang antar-sesama manusia.  Kini, di daratan Amerika dan Eropa bermunculan gereja-gereja nudis. Baik pendeta maupun jemaatnya, semuanya telanjang bulat saat melakukan kebaktian.  Jika semua jenis “Tuhan” itu diangga sama saja, maka “Tuhan” yang mana yang disembah kaum Pluralis?
Jadi, saat  seorang yang mengaku Pluralis  berkata, “Semua agama menyembah Tuhan yang sama”,  maka secara hakiki, dia telah berdiri di luar Islam.  Sebab, dia tidak lagi menuhankan Allah.  “Tuhan”, baginya, bisa siapa saja, berupa apa saja, dan berwujud apa saja. Bisa disebut Yehweh, bisa Allah, bisa Yesus, bisa Brahmin, dan bisa juga Iblis!  Yang penting dikatakan “Tuhan”, yang penting God!  Padahal, seorang Muslim sudah mengikrarkan syahadat: “Tidak ada Tuhan selain Allah”. 
Meskipun menyebut Tuhan mereka dengan “Allah”, tetapi  kaum Quraisy ketika itu dikatakan sebagai “musyrik”,  sebab mereka menyekutukan Allah dengan Tuhan-tuhan lain.  Allah hanyalah salah satu dari Tuhan-tuhan mereka; bukan Tuhan satu-satunya. Sebutan bisa sama, yakni “Allah”, tetapi konsepnya  berbeda-beda.  Sebagian  besar kaum Kristen di Indonesia menyebut juga Tuhan mereka dengan sebutan “Allah”, tetapi konsepnya berbeda dengan “Allah” dalam Islam.
Lain lagi dengan aliran  “Darmogandul” di Tanah Jawa, yang mengartikan Allah dengan “ala” (bahasa Jawa, artinya jelek). Dalam salah satu  bait Pangkur-nya, Kitab Darmogandul,  menyatakan: “Akan tetapi bangsa Islam, jika diperlakukan dengan baik, mereka membalas jahat. Ini adalah sesuai dengan zikir mereka. Mereka menyebut nama Allah, memang Ala (jahat) hati orang Islam. Mereka halus dalam lahirnya saja, dalam hakekatnya mereka itu terasa pahit dan masin.”
Jadi, Tuhan yang mana yang disembah kaum Pluralis?  Jika Tuhan apa pun sama saja, lalu apa artinya Tuhan bagi mereka?  Ujung-ujungnya bisa jadi: Tuhan tidak penting! Sebab, dalam pandangan kaum ini, Tuhan yang sejati (Allah), atau manusia, atau setan dianggap sama saja. Semua bisa menjadi Tuhan dan dituhankan. Ujung-ujungnya, Tuhan dianggap tidak penting. Bandingkan dengan sosok Sigmund Freud, psikolog dan salah satu perintis ateisme modern, yang berteori bahwa “Bertuhan, hanyalah wujud gejala penyakit jiwa infantilisme (penyakit kekanak-kanakan). (B.E. Matindas, ibid).
Ketidakjelasan posisi teologis kaum Pluralis Agama, digambarkan oleh Dr. Stevri Lumintang, seorang pendeta Kristen di Malang,  dalam bukunya, Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini, (Malang: Gandum Mas, 2004).
Dicatat dalam ilustrasi sampul buku ini, bahwa Teologi Abu-Abu adalah posisi teologi kaum pluralis ; bahwa teologi ini sedang meracuni, baik agama Kristen, maupun semua agama, dengan cara mencabut dan membuang semua unsur-unsur absolut yang diklaim oleh masing-masing agama.
Ditegaskan dalam buku ini: ‘’Inti Teologi Abu-Abu (Pluralisme) merupakan penyangkalan terhadap intisari atau jatidiri semua agama yang ada. Karena, perjuangan mereka membangun Teologi Abu-Abu atau teologi agama-agama, harus dimulai dari usaha untuk menghancurkan batu sandungan yang menghalangi perwujudan teologi mereka. Batu sandungan utama yang harus mereka hancurkan atau paling tidak yang harus digulingkan ialah klaim kabsolutan dan kefinalitas(an) kebenaran yang ada di masing-masing agama.’’
***
Sosok lain yang secara dominan ditampilkan dalam   Film “?” adalah seorang bernama Surya. Ia  seorang laki-laki Muslim, berprofesi sebagai aktor figuran.  Dia berteman dengan Rika. Karena miskin, ia terusir dari rumah kosnya. Lihatlah, dalam film ini, Ibu Kos yang “bakhil” itu ditampilkan dalam sosok berjilbab, dan mengajari anak Rika agar membaca buku-buku Islam!
Surya  memuji-muji Rika telah melakukan sesuatu yang berarti dalam hidupnya. Mereka berkawan akrab. Surya ditampilkan sebagai sosok yang polos, kocak dan naif.  Untuk uang, dan mungkin untuk mempertontonkan fenomena “kerukunan umat beragama”,  Surya menerima tawaran Rika agar berperan sebagai Yesus. Ia rela beradegan – seolah-olah -- dipaku di tiang salib di sebuah Gereja Katolik saat perayaan Paskah. Pada kali lain, ia berperan sebagai Santa Claus. Sebagian jemaat Gereja sempat memprotes sosok Yesus diperankan seorang Muslim. Terjadi perdebatan. Muncul Pastor yang menyetujui penunjukan Surya sebagai tokoh Yesus.
Seperti halnya Rika, tampaknya sosok Surya ditampilkan sebagai representasi fenomena toleransi dan “kerukunan”.   Setelah merelakan dirinya berperan sebagai Yesus, Surya kembali ke masjid membaca surat al-Ikhlas, sebuah surat dalam al-Quran yang menegaskan kemurnian Tauhid. “Katakan, Allah itu satu. Allah tempat meminta. Allah tidak beranak dan diperanakkan. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.” Allah itu satu! Allah tidak punya anak!  Ini gambaran dalam Film “?” karya Hanung ini.
Padahal, surat al-Ikhlas seperti mengoreksi doktrin pokok dalam agama Kristen, yang dirumuskan sekitar 300 tahun sebelumnya, di Konsili Nicea (325 M), sebagaimana disebutkan dalam Nicene Creed:  
“Kami percaya pada satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta segala yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Dan pada satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah, Putra Tunggal yang dikandung dari Allah, yang berasal dari hakikat Bapa, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah benar dari Allah Benar, dilahirkan tetapi tidak diciptakan, sehakikat dengan Bapa…” (Norman P. Tanner, Konsili-konsili Gereja).
Padahal, al-Quran sudah menjelaskan: “Dan ingatlah ketika Isa Ibn Maryam berkata, wahai Bani Israil sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian, yang membenarkan apa yang ada padaku, yaitu Taurat, dan menyampaikan kabar gembira akan datangnya seorang Rasul yang bernama Ahmad (Muhammad).” (QS 61:6). Dalam al-Quran, ada cerita Lukmanul Hakim yang menesehati anaknya: “Syirik adalah kezaliman besar.” (QS 31:13).
Beratus tahun, sejak kelahirannya, Islam membuktikan sebagai agama yang sangat toleran. Sejak awal, Islam mengakui dan menghargai perbedaan, tanpa harus kehilangan keyakinan. 
Saat Nabi Muhammad s.a.w. diutus, di wilayah Timur  Tengah, sudah eksis pemeluk Yahudi, Kristen, dan kaum musyrik Arab. Nabi Muhammad  s.a.w. mengajak mereka untuk memeluk Islam, mengakui Allah satu-satunya Tuhan dan dirinya adalah utusan Allah.  Nabi tidak menyatakan, “Semua agama sama-sama jalan yang sah menuju Tuhan!”   Bahkan, ada perintah al-Quran dalam surat al-Kafirun (109): “Katakan, hai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah! Dan tidak pula kamu menyembah apa yang aku sembah! Dan aku bukanlah penyembah sebagaimana kamu menyembah! Dan kamu bukanlah pula penyembah sebagaimana aku menyembah!”
Dalam Tafsirnya, Al-Azhar, Prof. Hamka menjelaskan, asbabun nuzul surat al-Kafirun ini berkaitan dengan tawaran damai empat tokoh kafir Quraisy yang resah dengan dakwah Tauhid Nabi Muhammad saw. Mereka adalah al-Walid bin al-Mughirah, al-Ash bin Wail, al-Aswad bin al-Muthalib dan Umaiyah bin Khalaf. Mereka mengajukan usulan: “Ya Muhammad! Mari kita berdamai. Kami bersedia menyembah apa yang engkau sembah, tetapi engkau pun hendaknya bersedia pula menyembah yang kami sembah….”
Buya Hamka mencatat:  “Soal akidah, di antara Tauhid Mengesakan Allah, sekali-kali tidaklah dapat dikompromikan atau dicampur-adukkan dengan syirik. Tauhid kalau telah didamaikan dengan syirik, artinya ialah kemenangan syirik.”
Lebih jauh Buya Hamka menjelaskan: “Surat ini memberi pedoman yang tegas bagi kita pengikut Nabi Muhammad bahwasanya akidah tidaklah dapat diperdamaikan. Tauhid dan syirik tak dapat dipertemukan. Kalau yang haq hendak dipersatukan dengan yang batil, maka yang batil jualah yang menang.”
Itulah paparan Buya Hamka, ulama terkenal dan salah satu Pahlawan Nasional di Indonesia.  Kita bisa menyimpulkan, jika ada yang menyatakan, bahwa  “semua agama adalah jalan kebenaran”,  saat itu dikepalanya telah hilang  konsep iman dan kufur, konsep tauhid dan syirik. Baginya, tiada  penting lagi, apakah seorang bertauhid atau musyrik; tak perlu dipersoalkan makan babi atau ayam, minum khamr  atau jus kurma; tidak penting lagi berjilbab atau telanjang;  tiada beda antara nikah atau zina; yang penting – katanya – adalah mengasihi sesama manusia.  Saat itu, sejatinya, agama-agama sudah tidak ada; sudah diganti dengan SATU AGAMA: “agama global”, “agama universal”, “agama kemanusiaan”, atau “agama cinta”.
Persaudaraan global antar-sesama tanpa memandang agama menjadi misi terpenting dari kelompok lintas-agama semacam Theosofi dan Freemason.  Ketua Theosofische Vereeniging Hindia Belanda, D. Van Hinloopen Labberton pada majalah Teosofi bulan Desember 1912 menulis:  "Kemajuan manusia itu dengan atau tidak dengan agama? Saya kira bila beragama tanpa alasan, dan bila beragama tidak dengan pengetahuan agama yang sejati, mustahil bisa maju batinnya. Tidak usah peduli agama apa yang dianutnya. Sebab yang disebut agama itu sifatnya: cinta pada sesama, ringan memberi pertolongan, dan sopan budinya. Jadi yang disebut agama yang sejati itu bukannya perkara lahir, tetapi perkara dalam hati, batin.
Inikah yang dituju oleh Film “?” Jangan menuduh! Silakan dicermati dan direnungkan!

***
Masih ada sosok lain yang diidolakan dalam film “?”. Namanya, Menuk.  Dia seorang muslimah, berjilbab pula.  Menuk bekerja di sebuah retoran China.  Bermacam makanan dijual di sana, termasuk  babi.  Dengan mencolok kepala babi ditampilkan. Kata si empunya restoran, bahan babi dan bahan lain dipisahkan.
Menuk diterima bekerja dengan baik di restoran ini.  Ia diberi kebebasan ibadah. Dalam salah satu segmen, ditayangkan Menuk sedang shalat, disampingnya Nyonya pemilik restoran juga sedang bersembahyang sesuai dengan agamanya.
Pesan dari pemunculan sosok Menuk ini cukup jelas:  inilah contoh toleransi! Muslimah berjilbab rela bekerja di sebuah restoran yang menjual babi.
Syukurlah, di akhir cerita, anak pemilik restoran bersedia memeluk Islam. Ini tentu baik, dalam perspektif  Islam. Tetapi, apakah perlu harus melalui proses bekerja di sebuah restoran yang menjual babi?
Tujuan baik tidak boleh menghalalkan segala cara. Tujuan memberi nafkah keluarga adalah baik. Tetapi, cara yang ditempuh pun harus baik. Banyak muslimah yang gigih membantu ekonomi keluarganya dengan bekerja keras dalam berbagai bidang profesi, dan juga toleran dengan yang lain. Tapi, apakah Menuk sosok Muslimah yang ideal untuk ditampilkan?
Walhasil, Film “?” karya Hanung Bramantyo ini membawa pesan besar yang terlalu jelas: agama apa saja, sebenarnya sama saja! Agama-agama dipandang sebagai jalan setapak menuju Tuhan yang sama.  Juga, agama-agama dianggap barang remeh; laksana baju, agama boleh ditukar dan -- kalau perlu -- dibuang kapan saja!  Katanya, demi kerukunan, demi toleransi, dan demi perdamaian.
Akhirul kalam, di era globalisasi dan kebebasan informasi, saat kemusyrikan dan kemurtadan ditampilkan dalam wujud  yang menawan dan menghibur,  ada baiknya kita merenungkan satu ayat al-Quran: "Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan setan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian lainnya perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu." (QS 6:112)
Juga, Nabi Muhammad saw pernah bersabda: “Bersegaralah mengerjakan amal shalih, (sebab) akan datang banyak fitnah laksana malam yang gelap gulita. Pada pagi hari, seseorang berada dalam keadaan mukmin, tetapi sore harinya menjadi kafir. (Atau) sore harinya dia mukmin, pagi harinya menjadi kafir. Dia menjual agamanya dengan harta-benda dunia.” (HR Muslim). Wallahu a’lam bil-shawab.*/Depok, 10 April 2011 

http://www.insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=240%3Afilm-apa-maunya-&catid=1%3Aadian-husaini&Itemid=14

Selasa, 19 April 2011

Mengapa Harus Kartini?


Mengapa setiap 21 April kita memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan?
Ada yang menarik pada Jurnal Islamia (INSISTS-Republika) edisi 9 April 2009 lalu. Dari empat halaman jurnal berbentuk koran yang membahas tema utama tentang Kesetaraan Gender, ada tulisan sejarawan Persis Tiar Anwar Bahtiar tentang Kartini. Judulnya: “Mengapa Harus Kartini?” 
Sejarawan yang menamatkan magister bidang sejarah di Universitas Indonesia ini mempertanyakan: Mengapa Harus Kartini? Mengapa setiap 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?
Menyongsong tanggal 21 April 2009 kali ini, sangatlah relevan untuk membaca dan merenungkan artikel yang ditulis oleh Tiar Anwar Bahtiar tersebut. Tentu saja, pertanyaan bernada gugatan seperti itu bukan pertama kali dilontarkan sejarawan. Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik ‘pengkultusan’ R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.
Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”. Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut,” tulis Harsja W. Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University.
Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.
Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.
Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.
J.H. Abendanon
Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.
Harsja menulis tentang kisah ini: “Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.
Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur “Haluan Etika” C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.
Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).
Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda. Harsja Bachtriar kemudian mencatat: “Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.”
Karena itulah, simpul guru besar UI tersebut: “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.”
Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri tauladan banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini: “Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.”
Dalam artikelnya di Jurnal Islamia (INSISTS-Republika, 9/4/2009), Tiar Anwar Bahtiar juga menyebut sejumlah sosok wanita yang sangat layak dimunculkan, seperti Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (kemudian pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Berikut ini paparan tentang dua sosok wanita itu, sebagaimana dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.
Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.
Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).
Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati.
Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.
Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan,” begitu kata Rohana Kudus.
Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar, penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar bahkan menyinggung nama Snouck Hurgronje dalam rangkaian penokohan Kartini oleh Abendanon. Padahal, Snouck adalah seorang orientalis Belanda yang memiliki kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam dari bumi Nusantara. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara.
Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu ((Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini:
“Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.”
Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck. Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis:
”Salam, Bidadariku yang manis dan baik!… Masih ada lagi suatu permintaan penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut: ”Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?” Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya.” (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).
Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk ’menaklukkan Islam’. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.
Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam ’penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ’ulama’. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai ”Mufti Hindia Belanda’. Juga ada yang memanggilnya ”Syaikhul Islam Jawa”. Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: ”Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.” (hal. 116).
Snouck Hurgronje (lahir: 1857) adalah adviseur pada Kantoor voor Inlandsche zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda. Salah satu strateginya, adalah melakukan ‘pembaratan’ kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam. Menurut Snouck, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka. Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir melalui asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya. Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan pemanfaatan adat. (hal. 43).
Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan Islam di Indonesia: “Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan kristenisasi. Untuk menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan semangat mereka kearah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi kebudayaan.” (hal. 24).
Itulah strategi dan taktik penjajah untuk menaklukkan Islam. Kita melihat, strategi dan taktik itu pula yang sekarang masih banyak digunakan untuk ‘menaklukkan’ Islam. Bahkan, jika kita cermati, strategi itu kini semakin canggih dilakukan. Kader-kader Snouck dari kalangan ‘pribumi Muslim’ sudah berjubel. Biasanya, berawal dari perasaan ‘minder’ sebagai Muslim dan silau dengan peradaban Barat, banyak ‘anak didik Snouck’ – langsung atau pun tidak – yang sibuk menyeret Islam ke bawah orbit peradaban Barat. Tentu, sangat ironis, jika ada yang tidak sadar, bahwa yang mereka lakukan adalah merusak Islam, dan pada saat yang sama tetap merasa telah berbuat kebaikan. [Depok, 20 April 2009/hidayatullah]
 

Senin, 18 April 2011

PERNAH ADA MASA-MASA


pernah ada masa-masa dalam cinta kita
kita lekat bagai api dan kayu
...bersama menyala, saling menghangatkan rasanya
hingga terlambat untuk menginsyafi bahwa
tak tersisa dari diri-diri selain debu dan abu

pernah ada waktu-waktu dalam ukhuwah ini
kita terlalu akrab bagai awan dan hujan
merasa menghias langit, menyuburkan bumi,
dan melukis pelangi
namun tak sadar, hakikatnya kita saling meniadai

di satu titik lalu sejenak kita berhenti, menyadari
mungkin hati kita telah terkecualikan dari ikatan di atas iman
bahkan saling nasehatpun tak lain bagai dua lilin
saling mencahayai, tapi masing-masing habis dimakan api

kubaca cendikiawan dinasti ming, feng meng long
menuliskan sebaitnya dalam ‘yushi mingyan’;
“bungapun layu jika berlebih diberi rawatan
willow tumbuh subur meski diabaikan”

maka kitapun menjaga jarak dan mengikuti nasihat ‘ali
“berkunjunglah hanya sekali-sekali, dengan itu cinta bersemi”

padahal saat itu, kau sedang dalam kesulitan
seperti katamu, kau sedang perlu bimbingan
maka seolah aku telah membiarkan
orang bisu yang merasakan kepahitan
menderita sendiri, getir dalam sunyi
-ataukah memang sejak dulu begitulah aku?-

dan sekarang aku merasa bersalah lagi
seolah hadirku kini cuma untuk menegur
hanya mengajukan keberatan, bahkan menyalahkan
bukan lagi penguatan, bukan lagi uluran tangan
-kurasa uluran tanganku yang dulupun membuat kita
hanya berputar-putar di kubangan yang kau gali itu-

kini aku hanya menangis rindu membaca kisah ini;
satu hari abu bakr, lelaki tinggi kurus itu menjinjing kainnya
terlunjak jalannya, tertampak lututnya, gemetar tubuhnya
“sahabat kalian ini”, kata Sang Nabi pada majelisnya, “sedang kesal
maka berilah salam padanya dan hiburlah hatinya..”

“antara aku dan putera al khaththab”, lirih abu bakr
dia genggam tangan nabi, dia tatap mata beliau dalam-dalam
“ada kesalahfahaman. lalu dia marah dan menutup pintu rumah.
kuketuk pintunya, kuucapkan salam berulangkali untuk memohon maafnya,
tapi dia tak membukanya, tak menjawabku, dan tak juga memaafkan.”

tepat ketika abu bakr selesai berkisah, ‘umar datang dengan resah
“sungguh aku diutus pada kalian”, Sang Nabi bersabda
“lalu kalian berkata ‘engkau dusta!’, wajah beliau memerah
“hanya abu bakr seorang yang langsung mengiya, ‘engkau benar!’
lalu dia membelaku dengan seluruh jiwa dan hartanya.
masihkah kalian tidak takut pada Allah untuk menyakiti sahabatku?”

‘umar berlinang, beristighfar dan berjalan simpuh mendekat
tapi tangis abu bakr lebih keras, air matanya bagai kaca jendela lepas
katanya, “tidak ya Rasulallah.. tidak.. ini bukan salahnya..
demi Allah akulah memang yang keterlaluan..”
lalu diapun memeluk ‘umar, menenangkan bahu yang terguncang

ya Allah jika kelak mereka berpelukan lagi di sisiMu
mohon sisakan bagian rengkuhannya untuk kami
pada pundak, pada lengan, pada nafas-nafas ini..

ya Allah,
berikan pula keberkahan yang sama sperti keberkahan mereka,
keberkahan karena ikatan tali ukhuwah yang kuat,
keberkahan karena rasa saling mencitai karenaMu,
tautkan hati-hati kami dengan hati-hati mereka,
masukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang bersyukur,
yaitu golongan yang yakin akan pertemuannya dengan Mu..
kami rindu, saangat rindu,
kami memelas kasihMu,,
ya allaah bihaa, bi husnil khootimah..

butterfly

Girls Myspace Comments
MyNiceProfile.com

Rabu, 13 April 2011

Karna Kita Tak Bisa Berjalan Sendiri

Siapapun takkan pernah bisa bertahan…
Melalui jalan dakwah ini…Mengarungi jalan perjuangan…Kecuali dengan kesabaran…

Saat kita memutuskan keluar dari barisan ini, maka pertanyakanlah kembali pada diri kita sendiri. Seberapa kuatkah kekuatan kita saat harus berjuang seorang diri?? Sedangkan berjama’ah saja, kita kerap kali menemukan kekurangan di sana sini. Sedangkan berjama’ah saja, kadang kita pesimis akan harapan. Kadang berjama’ah saja, kita sering mengeluh dan menyerah. Lalu, bagaimana jika kita berjuang seorang diri?? Sekali lagi tanyakanlah pada diri sendiri. Seberapa kuatkah kekuatan kita saat harus berjuang seorang diri??!!!

Ibarat sapu lidi. Jika hanya satu buah, seberapa kuat dan seberapa efektifkah, sebatang sapu lidi itu membersihkan sampah yang berserakan di jalan? Di awal-awal mungkin ada rasa semangat yang menggebu dan keyakinan yang kuat akan mampu membersihkan semua sampah-sampah itu dengan sebatang lidi. Namun kemudian yang terjadi adalah kelelahan yang semakin lelah, ke pesimisan akan mampu membersihkan sampah yang berserakan, bukan menjadi bersih sampah berserakan, yang terjadi malah patah lidi menjadi dua atau mungkin patah menjadi beberapa bagian. Namun ketika lidi itu digabungkan dengan lidi-lidi lain dalam satu ikatan yang kokoh, maka yang terjadi adalah kekuatan yang luar biasa besar membersihkan sampah yang berserakan. Ia pun menjadi sulit untuk dipatahkan.

Begitulah amal jama’i. Kita bukan supermen…!! apalagi pahlawan bertopeng! Yang semua kebathilan dimuka bumi ini bisa kita tangani dengan sekejap dan seorang diri. kita bagian dari sebuah tubuh yang saling menguatkan. Yang satu sama lain punya fungsi, punya kelebihan dan kekurangan. Dengan potensi-potensi itulah kemudian disatukan menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa.

Ikhwahfillah…Mari sejenak kita perhatikan pola kerja anggota tubuh kita. Masing-masing anggota tubuh punya peran untuk mensinergikan gerak tubuh yang harmonis, menunjukan koordinasi yang sempurna, menunjukan kesempurnaan amal yang prima, menunjukan konsistensi dan keistiqomahan dalam menjalankan amanahnya masing-masing. Jika telinga terasa gatel, mulut tidak perlu ngoceh memerintahkan tangan untuk menggaruk. Masing-masing sadar akan tugasnya. Tangan yang sadar akan tugasnya langsung menggaruk telinga yang terasa gatel. Itulah amal jama’I. semuanya berjalan sinergi dan faham akan tugasnya masing-masing. Tidak ada yang merasa paling hebat ataupun merasa paling lemah.

Amal jama’I atau team work menjadi hal yang sangat penting dalam menyukseskan segala program dakwah yang kita gulirkan. Tidak ada satu individu yang lebih dari individu yang lain. Semuanya memiliki peran penting yang tak bisa disepelekan. Sekecil apapun peran itu. Yang menjadi ketua sebuah agenda dakwah tak perlu sombong dengan merasa paling hebat dibanding ikhwah yang lain. Yang mendapat peran sederhana, tak perlu merendah merasa paling lemah diantara yang lain. Semua peran memiliki manfaat yang sangat penting, satu sama lain saling berhubungan dan membutuhkan. Apapun posisi dan peran kita dalam sebuah jama’ah atau organisasi hal yang paling utama adalah memaksimalkan dan menyempurnakan amal-amal atau peran-peran kita dihadapan-Nya.

Karna Dakwah kita bukan karna ta'limat qiyadah, perintah murobbi/murobbiyah, bukan pula karna si fulan atau fulanah. Karna tiada lain dan tiada bukan dakwah kita hanya Lillahita'ala.

Jumat, 01 April 2011

Renungku dan Tanyaku (Sejenak Mengingat Perjuanganku di Duniaku)

Nggak menyangka pada akhirnya masuk ke wilayah dunia kesehatan. Ya, ketika sudah menginjakkan kaki di sini. Tidak lain dan tidak bukan. pada akhirnya akan menjadi bagian dari Tenaga Kesehatan di negeri ini. Nyaris sedih gara-gara nggak ketrima di jurusan yang nggak ada hubungannya dengan embel-embel "kesehatannya". percaya nggak percaya, saya lebih senang kalo pada akhirnya bisa di teknik elektro (halah..malah jadi curhat). Ok saatnya fokus

Rasanya memang harus diperbaiki peraturan yang ada di kampus, rumah sakit, puskesmas dan yang lainnya. Belum pernah tahu juga sih secara resmi ada nggak sih sebenarnya peraturannya. Kalau memang ada yang tahu coba kasih tahu saya ya. Ya sapa tahu aja, memang saya yang nggak tahu menahu tentang peraturan ini. Hadeeeh... Peraturan apa sih ukh???

Simpel kok sebenarnya masalahnya. Nggak jauh-jauh dari dunia ke akhwatan. Ya, apalagi kalau bukan soal busananya. yang kata orang, ni kata orang lho ya, " Nggak bisa gerak cepat, liat aja udah gerah, dan sebagainyalah." Buat temen-temen, mbak-mbak, ibu-ibu yang di lingkup wilayah kesehatan pasti nggak asing donk, dengan larangan memakai "Jilbab Lebar menutup dada", dan pastinya ada larangan juga buat pakai "Rok" untuk seragam ngampus apalagi dinas. Biasanya peraturan ini untuk temen-temen perawat, bidan dan gizi. kalau dokter sepertinya tidak ya (mohon koreksi). setidaknya ini pengalaman diri saya sendiri dan beberapa teman. Emang apa sih alasannya kita nggak boleh pakek jilbab lebar, dan rok??? Ah lagi-lagi nggak bisa berkutik karna sistem dan birokrasinya yang masih bisa di bilang "kuno" dan ah tahu sendirilah, posisi mahasiswa tu nggak begitu bisa banyak bergerak kalo sistemnya...ya gitu dah pokoknya.

Suatu hari, ini cerita seorang kawan. Kebetulan dia akhwat, tiba-tiba dipanggil Kajur. Sontak kaget, nggak biasanya dipanggil. Ih waw, nggak taunya ditegur. "Mbak, kamu kan sudah tahu peraturannya, siapa yang mengijinkan pakai rok? pakai jilbab segede itu, kamu nggak pernah baca peraturan bagaiman berseragam di kampus ini.".... Si akhwat menjawab." Maaf bu, sebelumnya saya minta maaf, tapi setahu saya bu, dalam peraturannya itu ada tulisan rok/ celana, jadikan itu tidak jadi apa-apa bu kalau saya pakai rok." Sang Kajur kembali menjawab," Lhoh.. Ya nggak bisa mbak, khusus untuk jurusan ini itu pakai celana, ngerti, pakai rok itu malah bikin ribet, kerja kamu ngak jadi cepet mbak, pokoknya saya nggak mau tahu, besok ganti seragamnya." Jelas si Akhwat nggak bisa melawan dengan kondisi seperti ini, tapi lumayan lucu juga sih katanya." lha katanya nggak boleh pakek rok, lha ni kajur perasaan sekarang pakek rok, lhah ini gimana mksdnya?" (bisiknya dalam hati).

Kalau dipikir-pikir lucu juga sih. belum ketemu juga sih alasan pastinya apa, kalo cuma ribet, kayake nggak juga, fine2 aja, tetep bisa kerja cepat. Ah kampus aja sudah ngelarang, belum lagi pas dinas di rumah sakit, yang mewajibkan memakai celana dan jilbab yang ah itu bukan jilbab menurutku, hnya sekedar penutup kepala. masih mending kalu penutup kepala, lha kadang-kadang mahkota kepala aja masih bisa kelihatan.. hiks..hiks... sampai kapan, sistem ini berlanjut dan tidak segera dibenahi.

Kalau bukan kita yang mengawali memperbaiki siapa lagi?? bukankah begitu ukhti? Okelah, waktu lalu ketika masih menjadi mahasiswa, kita harus nurut dengan peraturan-peraturan itu, meskipun isak tangis, malu di hadapan Rabb kita, biarlah itu menjadi masa yang lalu. dan sekarang, akankah saudari-saudari kita harus merasakan hal yang sama dengan kita? Semoga saja tidak, dan harus tidak! Harus ada yang diubah. Ya, jangan hanya puas selesai dan kemudian bekerja. Namun, ingatlah mereka, jangan biarkan ukhti. Harus ada yang masuk ke wilayah ini, harus ada yang menjadi penentu kebijakan selanjutnya, dan itu bukan mereka yang mendzolimi saudaranya. tapi kitalah yang harus menjadi penentu kebijakan selanjutnya. Mungkin aku, kamu, atau kita semua yang mengambil alih kebijakan itu nantinya. Jangan berhenti dalam satu titik "kepuasan" kemudian kita lupakan generasi selanjutnya.

Dan tak jarang karna tuntutan profesi, banyak yang akhirnya lemah dan goyah. Ya, semoga saja kita bukan menjadi bagian yang berguguran itu. Dan kita tercipta membawa perubahan, untuk diri kita yang lebih baik. dan untuk saudar-saudara kita yang mungkin sekarang menanti kiprah kita. menanti perubahan yang berawal dari diri kita.

Ya muqallibal qulub, tsabbit qolbi 'ala dinika Ya Allah.
wahai Tuhan Yang Maha Membolak-balikkan hati manusia,
tetapkan hati ini untuk selalu dalam agamaMu Ya Allah.

BERGERAK ATAU TERGANTIKAN!