Selasa, 24 Januari 2012

Bersabarlah Ukhti Sholehah ^_^

Kegelisahan, kedukaan dan airmata adalah bagian sketsa hidup di dunia ini. Tetesan airmata bermuara dari hati yang terselaputkan kegelisahan jiwa terkadang memilukan, hingga membuat keresahan dan kebimbangan. Kedukaan karena kerinduan yang teramat sangat dalam menyebabkan kepedihan yang memenuhi rongga dada, jiwa yang rapuh pun berkisah pada alam serta kehidupan, bertanya dimanakah pasangan jiwa berada. Lalu, hati menciptakan serpihan kegelisahan, bagaikan anak yang hilang dari ibunya di tengah keramaian.


Keinginan bertemu pasangan jiwa, bukankah itu sebuah fitrah? Semua itu hadir tanpa disadari sebelumnya hingga tanpa sadar telah menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan. Sebuah kewajaran pula bahwa setiap wanita ingin menjadi seorang istri dan ibu yang baik ketimbang menjalani hidup dalam kesendirian. Dengan sentuhan kasih sayang dan belaiannya akan terbentuk jiwa-jiwa yang sholeh dan sholehah. Duhai... betapa mulianya kedudukan seorang wanita, apalagi bila ia seorang wanita beriman yang mampu membina dan menjaga keindahan Islami hingga memenuhi setiap sudut rumahtangganya. 


Allah Subhanahu wa Ta'ala pun telah menciptakan wanita dengan segala keistimewaannya, hamil, melahirkan, menyusui hingga keta'atan dan memenuhi hak-hak suaminya laksana arena jihad fisabilillah. Karena itu, yakinkah batin ini tiada goresan saat melihat pernikahan wanita lain dibawah umurnya? Pernahkah kita menyaksikan kepedihan wanita yang berazam menjaga kehormatan diri hingga ia menemukan pasangan jiwanya? Dapatkah kita menggambarkan perasaannya yang merintih saat melihat kebahagiaan wanita lain melahirkan anak? Atau, tidakkah kita melihat kilas tatapan sedih mereka ketika melihat aqiqah anak kita? 


Letih... sungguh amat letih jiwa dan raga, sendiri mengayuh biduk kecil dengan rasa hampa tanpa tahu kapankah berlabuh.


Ukhti sholehah yang disayang Allah Subhanahu wa Ta'ala... Dalam Islam, kehidupan manusia bukan hanya untuk dunia ini saja, ada dunia fana, pun ada akhirat. Memang, setiap manusia sudah diciptakan berpasangan, namun maksudnya tidak dibatasi hanya dunia fana ini saja. Jadi mungkin saja ada manusia yang jodohnya baru dipertemukan nanti di akhirat. Seseorang yang belum menemukan pasangan jiwanya di dunia fana ini, insya Allah akan dipertemukan di akhirat nanti, selama ia beriman dan bertaqwa serta sabar atas ujian-Nya yang telah menetapkan dirinya sebagai lajang di dunia fana.


Keresahan dan kegelisahan janganlah sampai merubah pandangan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kalaulah rasa itu selalu menghantui, usah kau lara sendiri duhai ukhti, taqarrub-lah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kembalikan segala urusan hanya kepada-Nya, bukankah hanya Ia yang Maha Memberi dan Maha Pengasih. Ikhtiar, munajat serta untaian doa tiada habis-habisnya curahkanlah kepada Sang Pemilik Hati. Jangan membandingkan diri ini dengan wanita lain, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala pasti memberikan yang terbaik untuk setiap hamba-Nya, meski ia tidak menyadarinya. 


Usahlah dirimu bersedih lalu menangis di penghujung malam karena tak kunjung usai memikirkan siapa kiranya pasangan jiwa, menangislah karena airmata permohonan kepada-Nya di setiap sujud dan keheningan pekat malam. Jadikan hidup ini penuh dengan harapan baik kepada Sang Pemilik Jiwa, dan kesiapan menghadapi putaran waktu, hingga setiap gerak langkah serta helaan nafas bernilai ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tausyiah-lah selalu batin dengan tarbiyah Ilahi hingga diri ini tidak sepi dalam keheningan. Bukankah kalau sudah saatnya tiba, jodoh itu tak akan lari kemana, karena sejak ruh telah menyatu dengan jasad ini, siapa pasangan jiwamu pun telah dituliskan-Nya.


Sabar dan sabarlah ukhti sholehah... Bukankah matahari akan selalu menghiasi pagi dengan kemewahan sinar keemasannya, malam pun masih indah dengan bintang gemintang keperakan, dan kicau bening burung malam selalu riang mencandai sang rembulan. Senyumlah, laksana senyum penuh pesona butir embun yang selalu setia melantunkan tasbih dan tahmid di kala subuh. Hapuslah airmata di pipi, hilangkan lara di hati hingga akan dirimu rasakan tak ada lagi gejolak keresahan, kegamangan atau pun kegelisahan. Terimalah semua sebagai bagian dari perjalanan hidup, hingga dirimu temukan rahasia kehidupan bahwa semua ini adalah tanda kebesaran hati dan jiwa, semoga.


Wallahu alam bi showab


===== Diambil dari sebuah catatan... maaf tdk tercantum sumbernya======

Minggu, 22 Januari 2012

Iyyaka Na’budu (Hanya Kepada-Mu Kami Menyembah) : Kisah ini diceritakan oleh Syaikh Akbar Ibnu Arabi

Kisah ini diceritakan oleh Syaikh Akbar Ibnu Arabi dalam kitabnya Al Futuhat Al Makkiyah. Berikut petikannya:
Seorang guru bercerita bahwa ia memiliki seorang murid kecil yang terbiasa membaca Al Quran kepadanya. Suatu hari, ia melihat wajah muridnya sayu. Ia pun bertanya tentang kondisi murid itu kepada teman-temannya. Ada yang menjawab bahwa anak itu telah shalat malam dengan mengkhatamkan seluruh Al Quran.
Ia lalu bertanya kepadanya, “Wahai anakku, saya diberitahu bahwa kamu semalam mengkhatamkan seluruh Al Quran dalam shalatmu.”
“Benar, guru.” jawab murid itu.
“Wahai anakku, nanti malam, bayangkanlah wajahku di depanmu sewaktu kamu shalat lalu bacalah Al Quran di hadapanku dan jangan kamu lalai.”
“Ya, guru.”
Ketika pagi hari, ia bertanya, “Apakah kamu sudah melakukan apa yang aku pesankan?”
“Sudah, guru.”
“Apakah kamu mengkhatamkan Al Quran?”
“Tidak, aku tak mampu menyelesaikan lebih dari separo Al Quran.”
“Wahai anakku, itu cukup baik. Nanti malam, hadirkanlah bayangan wajah salah seorang sahabat Rasulullah, mereka adalah orang-orang yang telah mendengarkan Al Quran langsung dari Rasulullah, lalu bacalah di depannya dan hati-hati jangan sampai salah.”
“Insyaallah, guru. Saya akan lakukan.” jawab sang murid.
Keesokan harinya, ia bertanya lagi, “Apakah kamu sudah melakukan apa yang aku pesankan?”
Murid itu menjawab, “Saya tak mampu membaca lebih dari seperempat Al Quran.”
“Baiklah, nanti malam kamu bayangkan wajah Rasulullah yang telah menerima wahyu Al Quran itu dan sadarlah di depan siapa kamu sedang membaca.”
“Baik, guru.”
Keesokan harinya, ketika guru bertanya, murid itu menjawab,
“Aku tak mampu membaca lebih dari satu juz saja atau sekitar itu.”
“Wahai anakku, nanti malam kamu bayangkan wajah Jibril yang telah mendiktekan Al Quran kepada Rasulullah, bacalah di depannya dan sadarlah di depan siapa kamu sedang membaca.”
“Baik, guru.”
Keesokan harinya, ketika ia bertanya, murid itu menjawab,
“Saya tidak mampu membaca lebih dari beberapa ayat saja.” sambil menyebutkan ayat-ayat Al Quran yang ia baca.
“Wahai anakku, malam nanti bertaubatlah kepada Allah dan menunduklah. Ketahuilah bahwa orang yang sedang shalat itu adalah orang yang sedang berduaan dengan tuhannya. Renungkanlah apa yang kamu baca. Yang terpenting bukanlah memperbanyak bacaan, tapi tadabbur (menghayati) ayat-ayat yang kamu baca. Maka, jangan sampai kamu lalai.”
Keesokan harinya, sang guru tidak menemui murid itu. Ada yang mengatakan bahwa ia sedang sakit. Lalu ia menjenguknya.
Ketika melihat wajah gurunya, murid itu menangis sambil berkata,
“Wahai guru, semoga Allah membalas anda dengan kebaikan. Aku belum pernah menyadari bahwa aku telah berbohong kecuali semalam tadi. Semalam aku telah membayangkan wajah Allah dalam shalatku, lalu aku pun merasa berat ketika membaca Al Quran di depan-Nya, aku tidak bisa menyelesaikan surat Al Fatihah kecuali hanya sampai Maliki Yaumiddin saja. Ketika aku hendak membaca Iyyaka na’budu, aku malu. Aku merasa telah berdusta di hadapan Allah. Aku mengaku hanya menyembah-Nya saja, tapi kenyataannya aku masih lalai dalam menyembah-Nya. Aku tidak bisa ruku’ sampai terbit fajar. Aku takut menghadap Allah dalam keadaan yang tidak aku sukai ini.”
Tiga hari kemudian, murid tersebut meninggal dunia. Ketika dimakamkan, sang ustadz mengunjungi kuburannya lalu bertanya tentang keadaannya di sana. Tiba-tiba ia mendengar suara pemuda itu dari bawah kuburan, “Wahai Ustadz, saya hidup di sisi Sang Maha Hidup. Dia tidak menghisabku sedikit pun.”
Kemudian ustadz itu pulang ke rumahnya dalam keadaan sakit, ia terbaring di atas ranjang akibat melihat kejadian itu. Tak lama kemudian, ia pun meninggal dunia menyusul pemuda tersebut.
Syaikh Ibnu Arabi berkata, “Barangsiapa membaca iyyaka na’budu seperti bacaan pemuda itu, ia telah benar-benar membacanya.”